: Puan Agustina Thamrin
akulah puan penyair Kalimantan
yang kali-kalinya jadi kota bekas penjarah
yang hutan hutannya sering membara
tambang batubaranya nyanyian duka
harapan masih tergantung di jendela.
: Hentakan tarian Dayak terpahat di mata
akulah puan penyair Banjarbaru
puisi puisiku mengalir di seribu sungai yang hilang dijual ribuan penjual kisah
puisi itu masuk hutan cengkraman tuan
tak tersisa nyanyian prenjak, koak gagak,
dan rintihan orang utan.
Sebermula takzub itu sajian sunyi
di akar rumput
di batang kayu mati
mengambang atas sungai leluhur kami
atas kemurnian hilang oleh pencinta diri
tinggal raungan ditendang si industrialis
Diserah terimakan ruwatan bumi, hukum sepi.
pantang menyerah membaca sajak
ikut berarak bersama tarian awan,
bermain di jantung gelombang
melalui udara berhembus wangi cinta
tak berujung,
memakai pesawat terbang pun tak sesal!
Tangis sudah mengerak
Cintamu sudah selesai di kertas,
sempat seliweran di dunia
Kini bersiap membaca cahaya
masuk ke hutan kaya tengahnya taman.
Seberakhir titian rambut dibelah tujuh
panjangnya tak terduga, tipisnya tak terlukis
Temui Hasan Assabit penyair Nabi, lalu sampaikan
bahwa kau – Agustina bersuara dalam tarian Dayak,
pembelaan pada alam telah digemakan;
sajak kesaksian dilayarkan di perairan Kalimantan,
kali harapan, kali para pengelana, kali kasih sayang, seribu kali oh menjadi kota bergang ratapan
: terdengar dari hutan ibu kita memanggil pulang.
Kalimantan tumpah darah ayah Thamrin
juga kau sepi ing pamrih, dan kini hening
tanyailah, siapa ruh suci pecinta puisi
kau tidak kan galau, segera dapat pulau
hadiah dari seribu sungai risau
habis oleh sayatan pisau orang kacau
Ruhmu sedang menempuh, taklah jauh!
gerbang kampung abadi rindu menunggumu
Buku puisi itu suara tifa tanpa bunyi penutup.
/Bukit Padalarang,
17 Mei 2020