Esai: Cunong Nunuk Suraja
PENDAHULUAN
Menuliskan jejak estetika cybersastra atau sastra maya mengingatkan pada pemicu merebaknya sarana komunikasi lewat jaringan internet di tahun 2000. Medy Loekito dan Nanang Suryadi yang mestinya diserahi untuk pengembangan sastra maya KSI (Komunitas Sastra Indonesia) justru menggalang para cyborg yang tergabung dalam mailinglist penyair@yahoo.com, puisikita@yahoo.com dan gedongpuisi@yahoo.com membentuk Yayasan Multimedia Sastra dengan dibantu oleh Iwan Soekri Munaf dan diledakkan Saut Situmorang saat peluncuran Graffiti Gratitude (sayang bukunya saya ubek-ubek tetap tak ketemu dalam jajaran rak buku di rumah yang penuh debu) dan seperti layaknya sebuah paguyuban yang cair sangat rentan untuk buyar tanpa kendali karena kesibukan masing-masing (hal ini sudah ditandai oleh Nanang Suryadi dalam artikelnya Fenomena Sastra Indonesia Mutakhir: Komunitas dan Media). Tercatat, terbitan buku terakhir YMS disunting Asep Sambodja (2005) berjudul Les Cyberlettres. Berbekal buku editan Asep Sambodja (almarhum) ini jejak kreativitas cybersastra, yang juga dikenal dengan sebutan cyborg, dicoba lacak (seusai Ahmadun Yosi Herfanda menjentikkan anggapan media cyber sebagai tong sampah sastra).
Secara kasat mata sastra cyber maupun sastra cetak (dalam hal ini buku dan koran atau majalah) tidak menunjukkan perbedaan yang massif kalau tidak mau mengatakan sebagai sama dan sebangun bahkan sebenarnya media cyber menjadi lahan bebas parkir untuk segala upaya tulis-menulis baik sastra maupun non sastra yang memang layak disejajarkan dengan tempat buang hajat karya atau populer dengan tong sampah. Tetapi pada perkembangan selanjutnya justru menjadi mediasi penghubung penyambung perekat yang tidak hanya media bahkan melahirkan banyak antologi karya sastra hingga muncul istilah puisi esai. Memang ada usaha YMS menjawab tantangan penggunaan fasilitas komputer Powerpoint dengan menggabungkan puisi-lukisan-musik dalam keping cakram padat (Compact Disc – CD) dengan tajuk Cyberpuitika (2002) yang memang tidak diperjual-belikan dan disunting oleh Tomita Prakoso. Media fasilitas fitur Microsoft Powerpoint maupun program yang lain tidak berlanjut karena menuntut kemampuan teknis yang tidak main-main. Walaupun ada usaha Remi Novaris DM mencoba mengotak-atik seperti yang sudah dicoba kelompok YMS tetapi juga kandas di tengah jalan. Sehinga usaha menjawab tantangan untuk cybersastra keluar dari pakem media cetak tak terhindangkan dan fasilitas serat optik dalam bentuk cyber berhenti pada tataran mediasi saja.
KEMBALI KE MEDIA CETAK
Maka penerbitan buku menjadi sarana marak dan dibantu dengan penerbit indie yang sangat longgar dalam pola suntingan dan beragam kualitas cetaknya. Beberapa kelompok yang sudah dicatat Nanang Suryadi sejak Cybersastra.net non aktif karena situsnya dibajak, sudah puluhan grup diskusi sajak atau puisi menerbitkan kumpulan puisi atau antologi secara swadana. Demikian juga yang telah dilakukan YMS dengan hasil kerja almarhum Asep Sambodja dengan catatan beberapa penyair sudah mulai memiliki buku antologi puisi tunggal.
Secara kualitas dengan bertambahnya persaingan terbuka dan bebas lewat sarana maya atau internet menunjukkan gejala posistif walau terkesan mereka tidak mempunyai dasar sejarah perkembangan puisi Indonesia secara tuntas sebab miskinnya kemampuan membaca referensi yang ada. Mereka lebih banyak berinteraksi sesama dengan permainan jempol sebagai rasa suka dan setuju dibandingkan pemikiran kritis atas karya yang ada. Kecepatan interaksi juga mempercepat rangsangan saling bertanggap karya dengan bentuk karya lain yang seakan masih seragam gaya ungkap dan pokok gagasannya kecuali memang mereka yang sudah mulai menulis sebelum terjadi ledakan interaksi internet yang intens dengan pengalaman baca atau media cetak semacam koran mingguan yang menyodorkan pemikiran perkembangan literasi yang harus melalui saringan dewan redaksi dan waktu terbit berkala.
Dapat dijadikan contoh perkembangan literasi dalam pengaruh estetika karya Asep Sambodja yang saat dilontarkan atau diunggah di media maya menjadikan kehebohan karena judul yang sangat menyaran pada berita fakta bukan opini apalagi pengalaman batin.
IN MEMORIAM SAPARDI DJOKO DAMONO
I
aku mencintaimu dengan sederhana
meski kau tak pernah mencintaiku
tapi tak mengapa, sebab antara sengaja
dan tidak sengaja mencintai sama sekali
tidak ada pembatasnya. Kalau kau
bertemu denganNya, katakan aku hanya ingin …
II
seusai mengantar jenazahmu
pohon demi pohon masih menundukkan kepala
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit: kosong-sepi …
III
waktu aku berjalan ke barat pada malam hari, gelap
mengikuti di belakang, aku tak menemukan bayang-bayang
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa
di antara kami yang telah menyembunyikan bayang-bayang
IV
potretmu tentu ada dalam sajak ini, bersama
eliot, goenawan mohamad, chairil anwar,
sutardji calzoum bachri, taufiq ismail, amir hamzah
hamzah fansuri, rendra, wiji thukul, ronggowarsito, mpu kanwa …
Padahal puisi ini menunjukkan tingkat kemampuan baca penyair atas karya Sapardi Djoko Damono (SDD) – yang saat esai ini ditulis masih sehat wal-afiat: 10 Agustus, 2015. Penyair yang mengagumi karya-karya SDD dengan cerdas mengutil dan mengulik ungkapan asli dan khas penyair yang digelari si Hujan Bulan Juni. Tikungan gagasan yang terungkap di bait IV menunjukkan memang penyair bukan sekedar membuat tanggapan status atau suitan di Facebook maupun Twitter. Penyair yang merangkap editor/penyunting sudah mencatat di halaman pengantarnya bahwa “… saya tidak ingin bertindak seperti negara adidaya yang memegang hak veto. Karenanya, kebebasan penuh tetap berada di tangan para sastrawan itu sendiri. Sementara saya hanya menjaga koridor yang disepakati bersama menyangkut persoalan teknis. Demikian pula mengenai ‘pengarahan’ pada tafsiran makna puisi, yang sejatinya memang tidak perlu dipaparkan di sini, Karena setiap karya berpeluang untuk melakukan hubungan intim dengan pembacanya.” (Asep Sambodja, 2005, Les Cyberlettres di halaman 10).
Penyair berikutnya yang menunjukkan pengalaman sebelum berkecimpung dalam dunia maya adalah penyair Medy Loekito – penggerak dan ketua YMS di awal berdirinya, yang sudah membukukan puisinya dalam buku antologi tungggal In Solitude (1993) dan Jakarta, Senja Hari (1998, diterbitkan Penerbit Angkasa, Bandung). Puisinya yang bernafas haiku menunjukkan tingkat kemampuan estetis yang terjaga. Berikut puisi-puisinya yang disunting Asep Sambodja, pada buku Les Cyberlettres di halaman 153 dan 154.
JIKA
jika hari adalah waktu
kuingin ia punya boneka
dan mengajakku bermain
jika hari bukanlah waktu
kuinngin ia punya mawar merah
untuk kuberikan pada ibu
(mei 2002)
MUSIM SEMI
musim semi di kebun
kupu-kupu mengejar anakku
ada bunga di rambutnya
(aug. 98)
Penampilan sosok ibu yang lembut dan tak tergesa-gesa merupakan paradoks dari sifat sarana komunikasi internet yang kecepatannya mampu mengalahkan segala pancaran berita lewat cetak maupun radio dan televisi. Potret yang nyata itu telah memfakta dalam fiksi-fiksi imajinasi puisi Medy Loekito.
Dalam buku yang sama, kita dapat membaca karya Nanang Suryadi. Dengan karya yang juga cukup mengguncangkan dunia maya dan percetakan indie, buku-buku cetak antologi puisi tunggal Nanang Suryadi merupakan ‘buldozer’ gerak laju YMS yang menawarkan bayang-bayang Sutardji Calzoum Bachri (SCB). Seperti halnya Asep Sambodja, penyair Nanang Suryadi memang mencoba bermain peran dalam ungkapannya sebagai curahan pengalaman batin dalam menjejaki jejak sajak-sajak SCB. Berikut sajaknya di buku suntingan Asep Sambodja, 2005, Les Cyberlettres di halaman 159.
MEMBUNUH KAMUS
diam-diam aku ingin membunuh kamus. telah lama ia sekarat. kau tak tahu. kasihan. kata-kata membludak di luar sana. kamus tak sanggup memamah kata. kasihan. ia sekarat.
diam-diam aku ingin membunuh kamus. diam-diamlah engkau. jangan bilang-bilang siapa-siapa: aku adalah kamus, sedanng sekarat. semoga penyair menolongku menusuk tepat ke jantung kataku!
Hampir mirip cara menolaknya Asep Sambodja, Nanang Suryadi juga terkesan meledek gaya SCB dengan semacam mengaduk-aduk imajinya menjadi meledak dan membuyarkan wajah jejak penyair yang sudah dikunyahnya dengan tandas. Hampir semua kumpulan puisi tunggal Nanang Suryadi merekam paradoksal bayang-bayang SCB dalam sajaknya walau tergelincir semacam Afrizal Malna yang juga bercorak lain daripada yang lain yang kemudian disusul oleh Joko Pinurbo .
Pada buku yang sama kita juga bisa menemukan penyair yang mulai berani menuliskan puisinya pada tembok maya yang teramati malu-malu pingin tahu kemudian melonjak dengan menerbitkan dalam bentuk buku puisi maupun dikirimkan ke media cetak yang hingga kini masih juga malu-malu tabu adalah Indah Irianita Putri dan Rukmi Wisnu Wardhani. Dua penyair ini memang mempunyai perkembangan yang berbeda walau sama-sama menempuh jenjang pendidikan di bidang teknik. Berikut sajak Indah Irianita Putri yang mirip kelembutan Medy Loekito, yang dapat dibaca di buku suntingan Asep Sambodja, 2005, Les Cyberlettres di halaman 123.
KUPU-KUPU
kupu-kupu di atas batu menunggu
punggungnya lelah sayapnya patah mengungu
kemarin terbang ia terlalu tinggi hingga lupa diri
hari ini terbang ia terlalu rendah tanpa strategi
kupu-kupu di atas batu menepi
memakna kerendahan hati dan mawas diri
13 oktober 2002
23:25 am
Keberanian penyair mengerjakan kata sifat dalam ‘mengungu’ dan diadu dengan diksi ‘strategi’ hanya akan muncul pada penyair yang sering berinteraksi ujicoba serta uji nyali di ranah maya atau cyber.
Sedang Rukmi Wisnu Wardani memang berani mengejutkan dengan tohokan gagasan yang ditahun tujuhpuluhan disebut sebagai kembelingan Remy Sylado walau dalam takaran yang tertata dengan pas. Seperti Indah Irianita Putri jejakan masa lalu dan masa sekarang ini yang membedakan hanya pada ‘keberanian’ menerbitkan kumpulan puisi tunggal atau berdua atau bertiga. Maka tak heran referensi tentang Rukmi Wisnu Wardani hanya dapat dilacak lewat kepintaran mesin Google.
SEPARUH NAFAS BETINA
seperti juicer yang tak henti bekerja dalam genggaman kapten
kusambangi lagi ketengikan malam ini; bertapa di antara segerombolan
manusia yang asyik masyuk berkelana dengan sayapnya sendiri sendiri
lantas kudapati kau
melata di pojokan ruang; di antara kalung perut yang mengairahkan
bak anggur ranum: nikmat memabukkan!
matamu menjuntai sayu
seribu kupukupu bergelantungan di rembulan
pipimu yang mulus cantik
sementara aku,
memetikseparuh nafas yang ada di benakmu
kulumat
kucecap
kusingkap
dan kujilat aroma tubuhmu pada keringat yang beringas itu
agaknya uap alkohol yang menggerayangimu malam ini
sudah mulai genit meniup niup ujung rahimmu
inginkah kau rampas laki-laki itu ke dalam genggamanmu
lalu kau tunggangi ia bersama kawanmu
sampai pagi menatap tuntas bugil tubuhmu?
: bukalah bajumu, betina!
tunjukkan seberapa besar yang kau punya!
biarkan mereka terinspirasi
bahkan menelusuri puncak tertinggi
atau menarilah di hadapanku barang sekali,
biar kuterjemahkan lagi
apa yang diinginkan sela tubuhmu
(Asep Sambodja, 2005, Les Cyberlettres di halaman 193-194)
Pemilihan diksi ‘betina’ benar-benar mengundang kembelingan yang suntuk. Apalagi dengan cerdas penyair menggoreng imajinya dengan pekat padat: bukalah bajumu, betina!/tunjukkan seberapa besar yang kau punya! Penyair juga berani meggunakan majas yang sementara ini belum dibiasakan oleh pendahulunya semacam penggunaan pengandaian dengan ‘juicer dan kapten’
Tidaklah lengkap kiranya dalam ziarah Cybersastra ini tidak menyertakan karya ‘peledak’ Cybersastra yang dalam berita belum lama ini kena panggil paksa polisi sebagai saksi karena ungkapan kata ‘bajingan’ yakni Saut Situmorang. Ada empat sajak disertakan penyunting pada antologi 53 cyborg mabuk puisi Les Cyberlettres.
SAJAK BUAH-BUAHAN
seorang raja dengan kepala jambu monyet kuping jengkol sedang ngisap ganja
sebesar M-16 yang diimpor dari Amerika
dalam lemari besi berkaca besi
yang tergantung di dinding kamar mandi istana kerajaan
betapa menyedihkan
laba-laba main layangan
di kepala dan kuping yang sudah terlalu masak betul itu
dan lalat lalat hijau loreng loreng
main sembunyi sembunyian di kedua
lobang hidungnya yang mirip lobang kakus berjamur
dari mana menetes lahar berbau amonia
ini adalah sebuah sajak sentimental
yang ingin sekali kelak jadi kekal
seorang raja dengan kepala jambu monyet kuping jengkol
sedang jongkok semedi di sehelai daun keladi
yang terapung di air kuning kencing di bak mandi
monyet monyet berbulu hijau loreng loreng
tega berdiri mengelilinginya
sambil masturbasi
betapa menyedihkan
di luar
tergantung di pintu
sebuah pngumuman: JANGAN DIGANGGU!
ATAU KULIBAS KAU!!!
(Asep Sambodja, 2005, Les Cyberlettres di halaman 213-214)
Membaca sajak ini mengingatkan banyak hal yang tentunya akan lebih purna jika mengikuti pengantar penyunting bahwa “Karenanya, kebebasan penuh tetap berada di tangan para sastrawan itu sendiri. Sementara saya hanya menjaga koridor yang disepakati bersama menyangkut persoalan teknis. Demikian pula mengenai ‘pengarahan’ pada tafsiran makna puisi, yang sejatinya memang tidak perlu dipaparkan di sini, Karena setiap karya berpeluang untuk melakukan hubungan intim dengan pembacanya.”
MASALAH ESTETIKA DI DUNIA MAYA
Seperti pembukaan tulisan ini bahwa media cetak dan cybersastra masih tetap sama dan sebangun dalam bangunan citraan maupun penggunaan majas gaya bahasa maupun susunan tatabahasa lingusitik hanya dalam hal mediasi dan sosialisasi saja yang berbeda walaupun saat ini semua media cetak juga sudah memenuhi cloning cetakannya di dunia maya dengan sarana e-paper atau e-book bahkan dalam hal pendidikan dan pelaporan keuangan negara juga dikenal adanya e-learning dan e-budgeting. Lupakan saja wacana tong sampah yang sekarang malah menyuburkan dunia sastra Indonesia maupun internasional.
Estetika apalagi yang mau diperdebatkan jika sudah lewat satu dekade keadaan masih sama saja. Pertentangan maya dan cetak – dahulu sastra koran vs sastra buku atau sastra pop vs sastra adiluhung – memudar dengan hilangnya gaung Yayasan Multimedia Sastra dari hingar-bingar dunia maya yang tetap tak tersapa karena penggeraknya sudah berjalan di jalur masing-masing.
Bogor, 9 Agustus 2015
sila klik beberapa tulisan yang berkaitan:
Badri, 2011, Saya Lahir dari Sastra Cyber